20 Januari 2012

Putusan MK Soal Outsourcing tidak Kontra Investasi

BANDUNG - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang persamaan hak tenaga kerja alih daya (outsourcing) diyakini tidak akan menurunkan minat investasi. Kapasitas sumber daya manusia dinilai lebih utama dibandingkan dengan upah kerja. “Komponen upah tenaga kerja bukan satu-satunya yang menjadi pertimbangan dalam investasi. Saya melihat pengusaha akan lebih mengutamakan etos kerja,” kata pengamat ekonomi dari Universitas Padjadjaran Kodrat Wibowo, Kamis (19/1). 
Seperti diberitakan sebelumnya, pada Selasa (17/1), Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD membacakan putusan nomor perkara 27/PUU-IX/2011 di Jakarta, atas uji Materi Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. MK menyatakan, Pasal 65 Ayat (7) dan Pasal 66 Ayat (2) Huruf b UU Ketenagakerjaan bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pada intinya, putusan itu menghapus diskriminasi antara pekerja tetap dan pekerja alih daya. Keduanya mendapat hak yang sama tanpa memperhatikan status pekerja. Ini berarti, posisi tawar pekerja alih daya saat ini lebih kuat, berbeda dengan sebelum adanya putusan MK. Dengan penambahan komponen pemenuhan hak, secara tidak langsung hitungan ongkos produksi akan ikut naik. 
Namun Kodrat berpendapat, secara umum putusan itu tidak lantas mengurangi minat calon investor dalam berinvestasi. Pertumbuhan ekonomi tidak akan terganggu kalaupun sejumlah hak tenaga kerja alih daya ditambah. Minat calon investor akan tetap tinggi jika sumber daya manusianya memadai, meski ongkos tenaga kerja bertambah. Hanya saja dia menegaskan, perlu diperjelas hak apa saja yang perlu disamakan. Paling tidak hak-hak mendasar yang selama ini belum terpenuhi sejumlah penyedia jasa tenaga kerja alih daya harus diutamakan. Dia mencontohkan, hak mendasar yang harus didapat tenaga kerja alih daya, di antaranya asuransi yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja ataupun cuti. Sementara hak lain yang lebih bersifat keuntungan (benefit), seperti tunjangan pensiun ataupun bonus tidak wajib diberikan kepada tenaga kerja alih daya. 
“Tidak bisa dipukul rata semua haknya sama,” kata Kodrat. Dengan demikian, perlu ada rumusan yang jelas mengenai hak-hak yang harus dipenuhi. Titik temu atau kesepahaman mengenai hak tenaga kerja alih daya akan menguntungkan kedua belah pihak, yaitu pengusaha dan pekerja. Diakuinya, penambahan nilai input tenaga kerja secara nominal akan berdampak terhadap ongkos produksi dan harga output dari usaha tertentu. 
Sementara itu, Leo Sukoco dari perusahaan penyedia jasa keamanan PT Nusantara Satria Agung 911 menilai, putusan MK tersebut tidak akan berpengaruh banyak terhadap kinerja perusahaan. Pasalnya, selama ini sejumlah hak dasar tenaga kerja seperti jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek) serta cuti, sudah dipenuhi lebih dulu, sebelum keluarnya putusan MK tersebut. Menindaklanjuti putusan MK, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi berjanji akan menerbitkan surat edaran mengenai ketentuan Outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tententu (PKWT). 
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga kerja (PHI dan Jamsos) Kemnakertrans Myra M. Hanartani menuturkan, rencananya surat edaran tersebut rampung pekan ini. “Bagaimanapun juga harus ada persiapan-persiapan bagi yang sekarang sudah melakukan dengan sistem kerja yang seperti itu. Kita harus memberikan semacam guidance agar tidak terjadi perselisihan dan juga agar tidak salah tafsir," katanya. (A-179/A-89)***

0 komentar:

Posting Komentar