Bermula dari imajinasi, Wisynu (35) pengusaha Pisang Cokelat (Piscok) dari Kecamatan Warudoyong Kota Sukabumi ini mampu mengolah makanan yang asalnya biasa menjadi luar biasa. Tanpa mengenal menyerah, usahanya dijalankan dengan senang hati dan tanpa keluh kesah. Dalam jangka waktu lima tahun, makanan hasil kreasinya telah mampu menyedot banyak pelanggan dan meraup omset ratusan juta rupiah.
Pada pertengahan 2006, setelah lulus kuliah komputer di Jakarta, Wisynu pun pulang ke Sukabumi. Dirinya mulai mencoba untuk menekuni kerajinan pengolahan makanan. Makanan yang diolahnya adalah pisang dan cokelat. Dirinya terinspirasi dari usaha yang dijalankan oleh adiknya di Jakarta. Kebetulan adiknya telah menekuni usaha pisang aroma sejak lama. Dengan usaha yang digelutinya tersebut, adiknya ternyata mampu membiayai perkuliahan.
Terinspirasi dari pisang aroma olahan adiknya, tidak lantas Wisynu meniru atau menjiplak begitu saja. Dirinya berpikir inovatif, bagaimana agar makanan yang diolah bisa berbeda dan membuat orang menyukainya. Idenya pun muncul setelah menonton film yang berjudul "I Like Coocking" karya Steven Chaw. "Kami mulai berkreasi, bagaimana agar olahan tampil beda dan orang menyukainya. Ide muncul dari tontonan film. Di mana di sana diceritakan bagaimana masakan yang diolah mampu meledak di mulut. Sehingga orang merasa ketagihan," tuturnya kepada Radar sukabumi kemarin. Di tempat kost-nya di Jalan Skip Kelurahan Sriwedari Kota sukabumi, Wisynu yang masih lajang memulai memproduksi pisang cokelat. Hasil produksinya dititipkan ke warung-warung atau kantin sekolah terdekat. Kemasannya pun tidak seperti sekarang. Dulu masih sederhana, pisang cokelat hanya dibungkus dengan plastik."ketika itu, kami bertahap dalam membuat pisang cokelat. Dari 35 biji, sampai 75 biji, maksimal 125 biji. Kami titipkan ke warung-warung atau kantin sekolah terdekat," paparnya. Tujuh bulan kemudian, Wisynu mampu memproduksi pisang cokelat sejumlah 1.150 biji. Piscok sebanyak itu ditipkan di 22 rekanan yang ada di tiap warung dan kantin sekolah yang ada di Kota Sukabumi. "Mulai kami bekerjasama dengan pemilik warung atau penunggu kantin sekolah. Kami jadikan sebagai rekanan," ujarnya.
Bukan tanpa risiko, usaha yang dijalankan Wisynu tersebut. Piscok yang dijajakan oleh rekanan yang ada tiap kantin sekolah, biasanya tidak habis apabila sekolahnya libur. "Resiko selalu ada. Kalau sekolah ada kegiatan atau libur, biasanya dagangan nggak habis. Kalau dijual untuk hari esoknya, takut reject atau basi," ceritanya. Di tahun 2007, Wisynu pun menghabiskan masa lajangnya. Dengan gerobak es bekasnya, kemudian dirinya melanjutkan usahanya dengan berjualan Piscok di sekitar Wilayah Jalan Arief Rachman Hakiem. Di tempat itu, dirinya melakukan rutinitas berjualan selama tujuh bulan. "Dengan gerobak seharga Rp500 ribu, kami menjajakan Piscok dari Pukul 09.00 pagi sampai Pukul 09.00 malam. Pernah dalam seharian hanya mendapatkan uang sebesar Rp32 ribu," ujarnya. Berbekal ilmu dari pelatihan tentang branding, Wisynu pun mengubah pola usahanya dengan menjalankan manajemen marketing dan standar operasional. Dirinya pun memutuskan untuk berpindah lokasi dalam menjual hasil produksinya. Pada tahun 2009 akhir, maka dipilihlah kios sewaan yang ada di dekat Toserba Tisera, di Jalan Arief Rachman Hakiem. Nama kiosnya adalah Cakra. Sehingga orang biasa menyebut Piscok Cakra. Dibantu dengan 20 orang karyawan, ketika itu mampu meraup omset Rp150 juta dalam tiap bulannya. Namun pada tahun 2010 mengalami penurunan omset, menurutnya disebabkan oleh banyaknya alokasi di luar anggaran usaha. Kini omsetnya mencapai Rp100 juta per bulan, dengan karyawan sebanyak 12 orang. Jenis makanan produksi Cakra di antaranya, yaitu: Pisang Cokelat, Cokelat Saja, Pisang Saja, Pisang Keju dan original. Harganya berkisar dari Rp6 ribu sampai Rp24 ribu. "Coba saja, enak pasti rasanya," ujar salah seorang pelayan Cakra, Diah kepada Radar Sukabumi sore kemarin. (*)
Terinspirasi dari pisang aroma olahan adiknya, tidak lantas Wisynu meniru atau menjiplak begitu saja. Dirinya berpikir inovatif, bagaimana agar makanan yang diolah bisa berbeda dan membuat orang menyukainya. Idenya pun muncul setelah menonton film yang berjudul "I Like Coocking" karya Steven Chaw. "Kami mulai berkreasi, bagaimana agar olahan tampil beda dan orang menyukainya. Ide muncul dari tontonan film. Di mana di sana diceritakan bagaimana masakan yang diolah mampu meledak di mulut. Sehingga orang merasa ketagihan," tuturnya kepada Radar sukabumi kemarin. Di tempat kost-nya di Jalan Skip Kelurahan Sriwedari Kota sukabumi, Wisynu yang masih lajang memulai memproduksi pisang cokelat. Hasil produksinya dititipkan ke warung-warung atau kantin sekolah terdekat. Kemasannya pun tidak seperti sekarang. Dulu masih sederhana, pisang cokelat hanya dibungkus dengan plastik."ketika itu, kami bertahap dalam membuat pisang cokelat. Dari 35 biji, sampai 75 biji, maksimal 125 biji. Kami titipkan ke warung-warung atau kantin sekolah terdekat," paparnya. Tujuh bulan kemudian, Wisynu mampu memproduksi pisang cokelat sejumlah 1.150 biji. Piscok sebanyak itu ditipkan di 22 rekanan yang ada di tiap warung dan kantin sekolah yang ada di Kota Sukabumi. "Mulai kami bekerjasama dengan pemilik warung atau penunggu kantin sekolah. Kami jadikan sebagai rekanan," ujarnya.
Bukan tanpa risiko, usaha yang dijalankan Wisynu tersebut. Piscok yang dijajakan oleh rekanan yang ada tiap kantin sekolah, biasanya tidak habis apabila sekolahnya libur. "Resiko selalu ada. Kalau sekolah ada kegiatan atau libur, biasanya dagangan nggak habis. Kalau dijual untuk hari esoknya, takut reject atau basi," ceritanya. Di tahun 2007, Wisynu pun menghabiskan masa lajangnya. Dengan gerobak es bekasnya, kemudian dirinya melanjutkan usahanya dengan berjualan Piscok di sekitar Wilayah Jalan Arief Rachman Hakiem. Di tempat itu, dirinya melakukan rutinitas berjualan selama tujuh bulan. "Dengan gerobak seharga Rp500 ribu, kami menjajakan Piscok dari Pukul 09.00 pagi sampai Pukul 09.00 malam. Pernah dalam seharian hanya mendapatkan uang sebesar Rp32 ribu," ujarnya. Berbekal ilmu dari pelatihan tentang branding, Wisynu pun mengubah pola usahanya dengan menjalankan manajemen marketing dan standar operasional. Dirinya pun memutuskan untuk berpindah lokasi dalam menjual hasil produksinya. Pada tahun 2009 akhir, maka dipilihlah kios sewaan yang ada di dekat Toserba Tisera, di Jalan Arief Rachman Hakiem. Nama kiosnya adalah Cakra. Sehingga orang biasa menyebut Piscok Cakra. Dibantu dengan 20 orang karyawan, ketika itu mampu meraup omset Rp150 juta dalam tiap bulannya. Namun pada tahun 2010 mengalami penurunan omset, menurutnya disebabkan oleh banyaknya alokasi di luar anggaran usaha. Kini omsetnya mencapai Rp100 juta per bulan, dengan karyawan sebanyak 12 orang. Jenis makanan produksi Cakra di antaranya, yaitu: Pisang Cokelat, Cokelat Saja, Pisang Saja, Pisang Keju dan original. Harganya berkisar dari Rp6 ribu sampai Rp24 ribu. "Coba saja, enak pasti rasanya," ujar salah seorang pelayan Cakra, Diah kepada Radar Sukabumi sore kemarin. (*)
0 komentar:
Posting Komentar