Foto : Bisnis Jabar |
JAKARTA: Industri bank perkreditan rakyat menunjukan tren pertumbuhan bisnis yang berkualitas yang terlihat dari penurunan tingkat rasio kredit bermasalah dalam tiga tahun terakhir, meskipun penyaluran pembiayaan cukup ekspansif.
Joko Suyanto, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), mengatakan penurunan rasio tingkat kredit bermasalah (non performing loan/NPL) pada industri menunjukan bahwa bank mikro terus meningkatan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit.
“Hal itu sekaligus menunjukan bahwa nasabah usaha mikro dan kecil [UKM] juga bisa patuh untuk melunasi kredit yang diterima,” ujarnya kepada Bisnis, hari ini. Selasa 31 Januari 2012
Peningkatan kehati-hatian diimplementasikan lewat penguatan kualitas sumber daya manusia, melalui pendidikan dan pelatihan, terutama pada bagian account officer (AO).
“Proses recruitment juga sudah banyak ditingkatkan demi mendapatkan SDM yang berkualitas,” tambahnya.
Selain itu, sebagian BPR juga sudah mengembangkan teknologi informasi dalam melakukan monitoring terhadap kredit. Hal ini sekaligus meningkatkan efisiensi dalam menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran kredit.
Tingkat NPL industri BPR pada akhir 2011 menyentuh 5,22%, dan merupakan level terendah sejak 2007 lalu. Pada 2008, tingkat NPL masih 9,88% dan terus mengalami penurunan pada tahun-tahun berikutnya, yakni 6,9% pada 2009 dan 6,12% pada 2010.
Kredit ekspansif
Meski NPL menurun, namun penyaluran kredit industri tetap tumbuh ekspansif. Hingga akhir Desember 2011, industri telah menyalurkan kredit sebesar Rp41,1 triliun, bertambah Rp7,25 triliun atau 21,45%, dibandingkan dengan akhir 2010 Rp33,84 triliun.
Edy Setiadi, Direktur Kredit, BPR dan UMKM Bank Indonesia (BI), mengapresiasi kinerja bank mikro yang dapat menurunkan tingkat NPL tanpa menghambat ekspansi kredit.
“Bagi BPR tingkat NPL mendekati 5% itu sudah cukup bagus. Meski demikian, kami melihat kendali internal terhadap manajemen risiko belum merata dilakukan. Ke depan masalah kendali internal harus ditingkatkan,” ujarnya.
Dalam meningkatkan kehati-hatian, BPR juga diwajibkan untuk memiliki pedoman penyaluran kredit untuk menghindari pembiayaan macet dan fraud akibat pinjaman fiktif.
Pedoman tersebut akan menjadi pegangan dalam melakukan pengawasan terhadap BPR, sehingga pelanggaran yang dilakukan terhadap pedoman dapat menurunkan tingkat kesehatan bank mikro.
Edy menambahkan BI telah memperlonggar aturan penyaluran kredit bagi Bank Perkreditan Rakyat dengan memperbolehkan tanah girik dijadikan agunan.
Agunan girik
Pelonggaran syarat tersebut merupakan respon atas kondisi nasabah BPR yang sebagian besar belum memilik tanah bersertifikat.
“Tanah yang belum bersertifikat atau masih status girik dan lapak di pasar bisa dijadikan agunan secara proporsional di BPR,” ujarnya.
Dia menjelaskan tanah belum bersertifikat dan lapak di pasar tersebut bukanlah agunan utama bagi usaha mikro dan kecil (UMK), melainkan agunan tambahan. Adapun agunan utama tetap pada usaha mikro dan kecil yang memiliki kelayakan untuk dibiayai (feasible).
“Kami juga mencari bentuk agunan tambahan lainnya yang bisa digunakan oleh UMK dalam mendapatkan kredit.”
Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan pemerintah daerah dapat berperan dalam menurunkan tingkat bunga kredit bagi UMK dengan mendirikan lembaga Penjaminan Kredit Daerah serta menempatkan dana APBD di bank daerah dan BPR milik daerah.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah daerah juga bisa melakukan subsidi sebagian bunga kredit dengan mengandalkan APBD.
Dia menjelaskan dengan dana Rp100 miliar, pemerintah sebenarnya bisa menyubsidi bunga sebesar 5% untuk kredit sebesar Rp2 triliun. “Dari pada membuat program yang tidak jelas, lebih baik seperti ini,” jelasnya. (Bisnis Jabar)
0 komentar:
Posting Komentar