Jakarta : Sinyal menaikkan harga BBM tampaknya makin menguat ketimbang memilih pembatasan BBM bersubsidi. Apalagi penerimaan negara dari migas sebagian besar habis untuk membayar subsidi BBM. ”Tidak menaikkan sama sekali tidak wise, uang habis begitu saja, penerimaan minyak Rp 272 triliun diambil Rp 255 triliun buat subsidi,” kata Wakil Menteri ESDM Widjajono kepada wartawan di Jakarta
Lebih jauh kata Widjajono, kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut bisa dilakukan secara bertahap, sambil menunggu kesiapan investor dalam mengembangkan Bahan Bakar Gas (BBG). “Bertahap misalkan menjadi Rp 6.500, keuntungannya BBG siap, tidak nunggu pemerintah, kalau ada margin sedikit maka akan mengembangkan BBG,” tambahnya
Sayangnya, untuk melakukan kebijakan kenaikan harga BBM, pemerintah perlu mengajukan APBN-P 2012. Pasalnya, dalam APBN 2012 tidak disebutkan rencana kenaikan tersebut. “Kalau ikuti UU, harusnya pembatasan, jadinya APBNP. Saya rasa kita tidak bisa menentukan sendiri, karena tidak ada seorang pun yang lebih baik dari kita, jadi perlu ditentukan bersama,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Pengamat Ekonomi Chatib Basri. Menurutnya, selama ini subsidi BBM sekitar 52% adalah untuk mobil pribadi. Namun, yang paling besar, lanjutnya, adalah untuk penyelundup. “Pengguna BBM 52% itu adalah mobil pribadi bahkan angkanya jauh lebih besar. Paling besar itu adalah penyelundup. Bisa dilihat di kuartal II 2011, pertumbuhan 6,5 % tapi konsumsi BBM-nya naik 131%. Jadi, larinya kemana, kalau begitu ada pembelian di luar market. Jadi subsidi ini mensubsudi orang kaya dan penyelundup,” tegasnya.
Menurut Chatib, memang ada baiknya untuk menaikkan BBM. Caranya bisa 2, yaitu langsung dinaikkan langsung atau secara bertahap. “Kalau menaikkan langsung, toh demonya sama saja, tapi dampak ekspektasinya tidak lama, kalau gradual, para pengusaha memang tidak akan naikan baran setiap hari, jadi tidak berasa, apalagi kecil-kecil,” jelasnya.
Chatib juga menilai dengan dinaikkan harga BBM maka energilain akan berkembang. “Tidak mungkin mengembangkan biofuel kalau BBMnya masih disubsidi,jadi naikkan saja harganya. Toh SBY, juga tida bisa dipilih lagi sudah 2 kali jabatan, apalagi yang dipikirkan,” imbuhnya
Sementara Wakil Direktur Refor Miner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan berdasarkan nilai penghematan dan dan dampak yang ditimbulkan, menaikkan harga BBM merupakan pilihan yang tepat dan kebijakan yang rasional, simple dan tidak disertai dengan kerepotan dalam hal infrastruktur dan pengawasannya. “saya rasa opsi kenaikan harga BBM lebih rasional dan lebih pantas untuk keadaan sekarang ini,” ungkapnya
Khomaidi menambahkan dengan kenaikan harga BBM tidak akan berpengaruh besar terhadap inflasi. “kenaikan BBM Rp 1.000 perliter secara nasional akan mendorong tambahan inflasi di angka 1,07%. Kenaikan Rp 1.500 perliter akan berdampak pada inflasi 1,58%. Sementara itu jika dinaikkan Rp 2.000 akan berdampak pada inflasi 2,14%,” ujar Komaidi.
Dikatakan Khomaidi, dengan memilih pembatasan BBM premium untuk wilayah Jawa dan Bali, maka inflasi yang ditimbulkan sekitar 0,64%. Namun jika pembatasan untuk premium dan solar, maka dampak dari pemtasan ini akan menambah inflasi sebesar 0,88%. “Jika pemerintah menerapkan pembatasan ini untuk skala nasional, maka dampak inflasi dari pembatasn premium sebesar 0,96% dan jika pembatasan pada premium dan solar maka inflasinya di angka 1,30%,”imbuhnya.
Selain itu dari penghematan sisi anggaran, Ia mengungkapkan secara nasional jika dilakukan kenaikan harga BBM premium dan solar sebesar Rp 2.000 akan menghemat anggaran Rp 76,60 triliun. Dan jika BBM premium saja bisa menghemat Rp 25,87 triliun. ** (Neraca)
0 komentar:
Posting Komentar