30 Januari 2012

Pengembang Nilai Menpera Lakukan Malpraktek Kebijakan

Jakarta : Kalangan pengembang menilai Menteri Perumahan Djan Farid melakukan maladaftif atau malpraktek kebijakan karena menghentikan subsidi perumahan berformat Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sejak 1 Januari 2012. Pasalnya, kebijakan tersebut telah membuat ribuan orang Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) gagal memiliki rumah, karena tak ada lagi kucuran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) FLPP. “Policy regulasi yang dikeluarkan alih-alih mengurangi backlog, tapi yang terjadi malah menambah jumlah backlog perumahan,” jelas Wakil Ketua Real Estate Indonesia (REI) Muhammad Nawir di Jakarta, akhir pekan lalu. 
Nawir menegaskan, kebijakan tersebut membuat mandeg pembangunan rumah murah di seluruh Indonesia. Nawir menyebut, bukan hanya dalam soal FLPP, dalam UU No 1 tahun 2011 Tentang Perumahan dan Permukiman, yang mewajibkan rumah minimal tipe 36, Kemenpera telah membuat kalangan MBR tak mampu menjangkau rumah. Di tempat yang sama, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Properti dan Infrastruktur Lukman Purnomosidi menegaskan, Kemenpera telah membuat anggaran perumahan mubazir. Lantaran, penghentian FLPP secara mendadak membuat dana subsidi perumahan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut tidak bisa diserap. “Di saat situasi penyediaan rumah kondusif, Menpera malah membuatnya jadi dikotomi,” tukas Lukman. 
Sementara itu, kalangan pengembang anggota Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesa (Apersi) Banten menyatakan, tidak akan lagi membangun Rumah Sejahtera Tapak (RST) jika pemerintah tak lagi punya perhatian kepada masyarakat bawah. “Sejak awal menjadi pengembang rumah murah, kami berkomitmen untuk menyediakan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Jika pemerintah tak lagi mau memperhatikan masyarakat seperti dengan menghentikan kucuran FLPP dan melarang tipe rumah dibawah 36, maka kami tak akan lagi membangun rumah murah. Kami hanya akan membangun rumah komersial,” tandas Ketua DPD Apersi Banten, Vidi 
Vidi beralasan, para pengembang Banten menganggap pemerintah sudah tidak lagi mementingkan masyarakat miskin yang kemampuannya membeli rumah hanya di kisaran Rp 50 juta. “Kalau tetap dengan seperti itu, Apersi bangun nggak akan bangun. Kita kembalikan saja ke pemerintah, kan itu kewajiban mereka. Banten tidak akan partisipasi FLPP. Apersi kan bantu pemerintah, kalau regulasi nggak kondusif kita tinggalkan saja. Kita survive dengan bangun yang komersial,” jelasnya. 
UU No 1 Tahun 2011 soal Perumahan dan Pemukiman dianggap merugikan masyarakat, karena adanya persyaratan minimal membangun rumah ukuran 36 m2. Padahal dengan bangunan 36 m2, harga jual mencapai Rp 90 juta per unit. Hal ini akan sulit dijangkau oleh buruh yang hanya berpenghasilan Rp 1,5 juta per bulan. “Kalau Rp 1,5 juta, kemampuan cicilan Rp 500 ribu, itu harga jualnya Rp 50 juta. Padahal harga yang 36m2, Rp 90 juta. Harusnya tipe 36 m2, tidak perlu lagi diurus negara. Mereka sudah punya kemampuan,” tandas Vidi. Suplai rumah tapak sederhana Banten mencapai 4.000 unit per bulan. Dengan penerapan aturan 36 m2, maka terjadi penurunan suplai hingga 50%. “Suplai kami dan Jawa Barat adalah yang paling besar. Mencapai 50%-60% dari total pasokan rumah murah secara nasional,” terang Vidi. 
Vidi memaparkan, dari jumlah tersebut, hampir 100 persen atau seluruhnya adalah rumah dengan tipe di bawah 36 dengan harga yang variatif yaitu sekitar Rp70 juta. Selain itu, ia juga menegaskan bahwa pihaknya juga menanggung beban pembiayaan seperti untuk konstruksi perumahan yang terus berjalan meski terjadi penundaan penyaluran FLPP. “Argo kami kan tetap berjalan,” tuturnya. Saat ini, menurut dia, masih terdapat rumah sebanyak 5.000 – 6.000 unit yang dinyatakan “ready stock” untuk mencukupi kebutuhan perumahan di Banten untuk beberapa bulan mendatang. Sedangkan untuk realisasi jumlah kebutuhan perumahan di Banten pada 2012 ini diperkirakan berada di antara kisaran 15 – 20 ribu unit rumah. 
Sebelumnya, Ketua Umum Apersi Edi Ganefo menyatakan rasa pesimisnya bahwa target pembangunan perumahan dari Apersi pada 2012 sebanyak 72.000 unit akan tercapai. “Karena itu kami menganggap tahun 2012 ini merupakan tahun gelap bagi MBR untuk bisa memiliki rumah,” kata Edi. (Neraca)

0 komentar:

Posting Komentar