1. Jaja Suteja (Ketua Program Studi Manajemen FE UNPAS, Anggota ISEI Kota Bandung)
2. Sadikun Citra Rusmana (Dosen Program Studi Manajemen FE UNPAS)
PENDAHULUAN
Situasi sulit dalam perekonomian Indonesia sejak pertengahan 1997 berdampak besar terhadap kinerja bisnis di Indonesia. Selama kurun waktu 1999 – 2003. Hasil Pemilu hanya membentuk pe 4757 merintahan yang dihasilkan melalui proses demokrasi, tapi belum menampilkan perbaikan kinerja, khususnya di bidang ekonomi. Besaran-besaran makro ekonomi memang terlihat stabil karena meskipun telah lepas dari IMF namun pemerintah masih terkait dengan program Post Monitoring, sehingga dalam masa itu stabilitas ekonomi makro relatif terjaga. Namun demikian, sektor usaha kecil nyata masih belum tersentuh upaya perbaikan.
Usaha kecil menengah (UKM) memiliki keandalan bertahan dalam situasi perekonomian yang sulit, namun demikian kinerjanya masih terbatas pada tingkat upaya mempertahankan standar usaha (survival performance). Kerentanan UKM dalam siklus bisnis dipengaruhi oleh dampak gejolak ekonomi baik dari sisi permintaan maupun sisi penawaran. Tambunan (2002) menyatakan bahwa dampak sisi penawaran yang mempengaruhi UKM adalah Pasar Modal, Pasar Input, dan Pasar Tenaga Kerja. Sedangkan dampak sisi permintaan antara lain oleh Pasar Barang Jadi dan Pasar Barang Modal dan Keagenan.
Pasar modal tidak bersahabat kepada UKM karena biaya modal sangat tinggi sehingga pengusaha UKM sulit mengembalikan dana pinjaman karena skala ekonominya relatif kecil. Demikian pula pasar input memberikan efek negatif kepada UKM karena bahan baku produk yang dihasilkan UKM masih banyak yang diimpor. Pasar tenaga kerja relatif menyediakan tenaga kerja dengan upah yang murah (karena penawaran tinggi), tapi UKM kurang merespon tenaga kerja ahli karena kemampuan membayar rendah, sehingga UKM masih menggunakan tenaga kerja yang kurang terdidik/terlatih. Dari sisi permintaan, UKM banyak memproduksi barang yang tingkat permintaannya rendah (inferior), diantaranya barang primer padahal pasar barang mengharapkan UKM menghasilkan produk sekunder yang sudah tersentuh teknologi (non-inferior).
Kondisi tersebut memunculkan suatu dorongan pengelola UKM meningkatkan kualitas kewirausahaan. Di Indonesia, awalnya dikenal istilah wira-swasta, yang kemudian mengalami perkembangan gejala bahasa menjadi istilah yang lebih populer yaitu “wirausaha” (entrepreneur). Entrepreneurship diterjemahkan menjadi kewirausahaan. Kewirausaha diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam melaksanakan usaha mampu memulai dan atau menjalankan suatu usaha tertentu. Schumpeterian menyatakan kewirausahaan sebagai kemampuan mengelola bisnis berdasarkan kelangkaan sumberdaya. Sedangkan Cassonian menyatakan kewirausahaan sebagai keputusan bisnis berdasarkan kompetensi pelakunya.
Hubungan antara kewirausahaan dan wirausaha sangatlah erat. Kewirausahaan merupakan segala sesuatu yang menyangkut teknik, metode, sistem serta berbagai strategi bisnis umum yang dapat dipelajari tentang sukses atau mundurnya seorang wirausaha. Analisis hubungan antara keduanya dapat terkait pada masalah watak, perilaku, sikap, perkembangan kepribadian,sejarah kelompok, minat, motivasi dan ambisi seorang wirausaha dalam mencapai kesuksesannya.
Wirausaha bukanlah sekedar pengusaha, melainkan pengusaha sukses karena memiliki ciri-ciri serta kemampuan tertentu untuk menciptakan sesuatu yang baru. Pendapat Say dalam Muhandri Tjahja (2002) menyebutkan bahwa wirausaha adalah orang yang mampu melakukan koordinasi, pengorganisasian dan pengawasan. Wirausaha adalah orang yang memiliki pengetahuan yang luas tentang lingkungan dan membuat keputusan-keputusan tentang lingkungan usaha, mengelola sejumlah modal dalam menghadapi ketidakpastian untuk meraih keuntungan.
Menjadi seorang wirausaha, bukan sesuatu yang bersifat kebetulan. Ada berbagai faktor yang mempengaruhinya, baik yang bersifat inherent maupun dorongan yang bersifat kondisional. Paling tidak, ada 3 (tiga) kondisi yang berpengaruh secara signifikan (Muhandri Tjahja, 2002), yaitu: (a) Confidence modalities, (b) Tension modalities dan (c) Emotion modalities. Seorang wirausahawan dapat terbentuk karena lingkungan keluarga yang membesarkannya memiliki suatu budaya atau tradisi usaha yang kuat sehingga kondisi tersebut mengarahkan pada “Entrepreuner character building”. Namun demikian, tidak sedikit orang menjadi wirausahawan karena menguatnya suatu tension, sehingga ia tidak memiliki pilihan lain (just one option) untuk dapat bertahan hidup.
Wirausahawan memang sudah menjadi tujuan hidupnya, sehingga pada kondisi ini mereka betul-betul telah mempersiapkan diri untuk membangun suatu usaha sebagai jalan hdupnya, bukan merupakan suatu kebetulan, atau tidak adanya pilihan lain. Namun demikian, mungkin saja wirausahawan seperti ini berangkat dari keluarga pengusaha atau sebaliknya.
Suatu hasil studi empiris yang pernah dilakukan di Amerika dan di Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas pengusaha yang sukses berasal dari keluarga dengan tradisi yang kuat dibidang usaha. Sehingga dapat dibuat suatu premis bahwa kultur atau budaya ber-wirausaha suatu keluarga atau suku atau bahkan bangsa sangat berpengaruh terhadap kemunculan wirausaha-wirausaha baru yang tangguh. Pendapat tersebut diperkuat dengan hasil studi empiris Sulasmi (1989) terhadap 22 orang pengusaha wanita di Bandung yang dijadikan sampel dan dipilih secara random, hasilnya menunjukkan bahwa kurang lebih 55% pengusaha tersebut memiliki keluarga pengusaha, hubungan keluarga tersebut berupa suami-istri, orang tua-anak atau saudara pengusaha). Kondisi demikian seperti yang dikemukakan oleh Tjahja sebagai confidence modalities, dimana tradisi keluarga besarnya telah mendorong orang didalamnya untuk menjadi wirausaha yang baru.
Pilihan menjadi wirausaha yang hanya sebagai alternatif terakhir banyak berujung pada kegagalan usaha. Hal ini karena lower self confidence level serta tradisi wirausaha yang tidak mengakar kuat pada karakter jiwanya. Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian Mu’minah (2001) yang menyatakan bahwa terdapat 8 orang pengusaha paling sukses di daerah Pangandaran yang memulai usahanya karena keterpaksaaan, atau karena tidak adanya pilihan lain yang dapat dilakukan, faktor ini dikenal sebagai tension modalities.
WIrausaha mandiri juga dapat diwujudkan melalui pendekatan keilmuaan (akademik) mengenai dunia usaha, umumnya mereka mempersiapkan diri untuk menjadi wirausaha. Oleh karenanya, ada 2 (dua) kemungkinan seseorang ingin mewujudkan kewirausahaannya, yaitu: (i) seseorang langsung menjadi wirausaha dengan hanya merasa cukup memahami dasar-dasar keilmuwan usaha yang mereka miliki saat ini, dan (ii) memulai dengan bekerja terlebih dahulu untuk memahami dunia usaha secara riil. Kategori yang terakhir ini sering disebut sebagai emotion modalities.
Kenyataannya, sangatlah sulit bagi kita untuk mampu menanamkan aspek budaya/tradisi wirausaha pada generasi bangsa. Hal ini dibuktikan apabila kita menanyakan pada anak-anak dan orang tua, mereka umumnya akan mengagungkan profesi yang relatif bersifat risk averter, seperti menjadi: PNS, TNI, atau bekerja di perusahaan besar.
Kesadaran akan pentingnya untuk mendorong dan memberdayakan usaha kecil mulai disadari ketika krisis moneter tahun 1997 yang kemudian meluas menjadi krisis ekonomi melanda ibu pertiwi ini, dimana usaha skala besar terutama dalam bentuk (conglomeration) mulai tumbang satu per-satu. Sementara itu pada sisi lain, banyak usaha kecil (industri kecil) masih mampu bertahan, hal ini membuka mata pemerintah bahwa betapa sistem ekonomi pada masa lalu terlalu memihak pada industri besarnya. Fenomena tersebut telah mendorong munculnya euphoria berkaitan dengan penciptaan dan pemberdayaan usaha kecil dan menengah [UKM].
MANAJEMEN KREATIVITAS DAN INOVASI USAHA
Kegiatan wirausaha dasarnya adalah menciptakan sesuatu yang baru, produk baru, proses produksi baru, organisasi baru, manajemen baru, bahan baku baru, pasar baru, dan sesuatu yang baru yang dapat dikelola dengan tepat dalam kegiatan usaha. Dengan demikian, kewirausahaan itu selalu berkaitan dengan kreativitas dan inovasi. Ropke (1995), menyarankan adanya kesatuan fungsi kewirausahaan yang meliputi tiga level dorongan manajemen kewirausahaan, yaitu: Kewirausahaan Inovasi, Kewirausahaan arbitrase, dan Kewirausahaan Rutin. Sesuatu yang dihasilkan baru melalui proses inovasi harus dipertimbangkan berdasarkan pilihan arbitrase loss and benefit, dan apakah manajemen rutinnya mendukung proses penciptaan itu ? Dalam teori Schumpeter, kewirausahaan inovatif berhubungan dengan ketidakpastian yang dinamis karena hasil suatu inovasi tidak dapat diramalkan, di samping juga pemanfaatannya. Dengan demikian maka dalam melakukan fungsi kewirausahaan maka pilihan-pilihan (arbitrase) yang berdasar pada sifat-sifat kelangkaan sumberdaya perlu mempertimbangkan penghematan sumber-sumber ekonomi.
Robert & Weiss (1988) dalam Sadikun (2006) menggambarkan secara cerdas pemecahan masalah dan inovasi dalam kewirausahaan (gambar 1). Dalam Gambar 1.a) pemecaham masalah dengan model Kanal hasil prestasi sama dengan prestasi sebelumnya. Dalam Gambar 1.b). inovasi baru menciptakan prestasi dan keuntungan pada level baru.
Pengelolaan UKM bisa berhasil dan berkembang apabila dorongan kreatifitas dan inovasinya selalu bergerak, dan bukan sekedar faktor keberuntungan (luck). Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan gagasan baru dan menemukan cara baru dalam menyikapi masalah dan memanfaatkan peluang. Sedangkan inovasi adalah kemampuan menerapkan gagasan-gagasan baru atau pemecahan kreatif terhadap masalah dan dalam memanfaatkan peluang. Singkatnya, kreatifitas dan inovasi dianalogikan creativity – thingking new things, innovation – doing new things. (Yuyun Wirasasmita, 2002).
Kreativitas banyak diinterpretasikan dalam berbagai medium definisi. Scott (1995) memahami kreativitas berdasarkan jenisnya, yaitu murni dan terapan. De Bono (1992), mengartikulasikan kreativitas murni sebagai ekuivalen dengan kreativitas artistik (Jamal Bake, 2004)
Sementara itu, Joyce wycoff (1991) dalam sadikun (2006) menjabarkan makna kreativitas sebagai baru dan bermanfaat; suatu cara melakukan sesuatu dengan berbeda; unik; dan lebih baik. Menurutnya, kreatif berarti mampu menemukan solusi yang baru dan bermanfaat. Ciri yang terdapat dalam orang kreatif , menurut Joyce adalah adanya keberanian menghadapi tantangan dan risiko, ekspresif menyatakan pikiran dan perasaannya, nada humor ketika menggabungkan berbagai hal dengan cara baru dan bermanfaat, dan memiliki intuisi tinggi karena adanya eksplorasi dari otak kanan yang bersifat ritnmik dan imajinatif.
Jika pengelola UKM membutuhkan kemajuan usaha maka pembentukan manusia – manusia renaissance yang kreatif amatlah penting. Di zaman renaissance orang yang berpikir model Abad Pertengahan jauh tertinggal. Kini di Abad Informasi orang-orang yang masih brpikir seperti di Abad Pertengahan dan Era Industri terancam punah (Michael J. Gelb, 1998). Renaissance diilhami oleh cita-cita kuno – kesadaran akan kemampuan dan kekuatan manusia dan hasrat terhadap kegiatan penemuan. Kini waktunya renaissanceuomo universale) sebagai pribadi yang seimbang dan memiliki kecerdasan intelektual dan fisik, dan nyaman bergaul dengan seni maupun ilmu. Uomo universale modern adalah manusia-manusia yang 1) memiliki pengetahuan tentang komputer; 2) memahami proses mental; dan 3) memiliki kesadaran secara global. mentranformasikan kekuatan dan kemampuan manusia untuk menghadapi tantangan jaman baru, termasuk tantangan menghadapi persaingan usaha yang dihadapi UKM. Gelb mengindikasikan manusia renaissance yang ideal (
Menurut Yuyun Wirasasmita (2002), kreativitas tidak selalu dihasilkan dari sesuatu yang tidak ada, seringkali merupakan perbaikan dari sesuatu yang telah ada. Mengingat wirausaha merupakan sumber pemikiran kreatif dan inovasi, maka alam pikiran wirausaha adalah :
- selalu memimpikan gagasan baru dengan selalu bertanya Why ? How ?
- selalu mencari peluang baru atau mencari cara baru untuk menciptakan peluang baru;
- berorientasi kepada tindakan ;
- pemimpi besar, meskipun mimpinya tidak selalu dapat direalisasikan ;
- tidak malu melakukan sesuatu, meskipun dari skala kecil ;
- tidak pernah berpikir menyerah, selalu mencoba lagi ; dan
- tidak pernah takut gagal.
PEMBELAJARAN KREATIVITAS
Kreativitas dapat dikembangkan dalam pengelolaan UKM melalui kiat-kiat pembelajaran kreativitas, sebab kreativitas tidak timbul secara instan tetapi diusahakan dengan menciptakan iklim yang dapat mendorong kreativitas. Yang paling penting adalah pemimpin perusahaan mendorong sikap keingintahuan (curiosity), dan melakukan pelatihan-pelatihan kreativitas untuk mencari peluang inovasi usaha.
Salah satu metode pengembangan kreativitas dalam manajemen pembelajaran intelijensia adalah Metode Mind mapping yang dirintis oleh Tony Buzan. Menurut Buzan & Buzan (2004), Peta Pikiran adalah ekspresi dari Pemikiran Radian yang merupakan fungsi alami dari pikiran manusia. Menggunakan teknik grafik yang berdaya guna yang menyediakan kunci universal untuk membuka potensi otak, sumber kreativitas. Peta pikiran mempunyai empat karakteristik penting, yaitu :
a) subyek yang menjadi perhatian mengalam kristalisasi dalam citra sentral;
b) tema utama dari subyek memancar dari citra sentral sebagai cabang-cabang ;
c) cabang-cabang terdiri dari Citra Kunci atau Kata Kunci yang dituliskan di garis yang berasosiasi ;
d) cabang-cabang ini membentuk struktur nodus yang berhubungan.
Peta pikiran (mind map) adalah langkah berikutnya dalam kemajuan dari pemikiran linier (satu dimensi), lewat lateral (dua dimensi), yang membantu Radian (pemikiran multidimensi). Subyek peta pikiran dicontohkan hasil adopsi dari Buzan dan Konsep Kreativitas adopsi dari Joyce.
PENUTUP
Kesulitan yang dihadapi oleh UKM dalam pengelolaan usaha seringkali berbentuk hambatan-hambatan internal, yaitu bagaimana memberdayakan kapasitas kewirausahaan yang ada pada pemilik atau pengelola. Untuk menghadapi hambatan tersebut maka fungsi – fungsi kewirausahaan yang selama ini diimplementasikan perlu menggunakan dorongan kreativitas dan inovasi. Kreativitas dan inovasi diharapkan dapat memberikan solusi baru dalam memperkuat manajemen kewirausahaan UKM.
Salah satu bentuk pengembangan kreativitas dan inovasi yang berkembang saat ini dalam pembelajaran intelijensia adalah Mind Mapping (Pemetaan Pikiran). Dengan cara ini maka pengelola UKM dapat mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi melalui pemikiran Radian berdasarkan konsep utama yang diidentifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Buzan, Tony & Barry. 2004. The Mind Map Book. BBC Worldwide Limited.
_____, Tony. ( a.b. Tony Rinaldo). 2002. Use Your Head. Delapratasa
______, (a. b. T. Hermaya). 2004. Head First. 10 ways to Tap into Your Natural Genius. Gramedia. Jakarta.
Gelb, Michael J. (a.b. T. Hermaya). 2002. How to Think Like Leonardo Da Vinci ; Seven Steps to Genius Every Day. Gramedia.
Jamal Bake. 2004. Pendekatan 4P Kreatif ; Pengertian dan Model Pengukuran Kreativitas dan Inovasi. Manajemen Usahawan Indonesia. April 2004.
Robert, M. & A. Weiss. 1988. The Innovation Frmula : How Organizations Turn Change into Opportunity. Cambride, Mass : Ballinger Publishing Company.
Ropke, J. 1977. Die Strategie der Innovation. Tubingen ; Mohr-Siebeck.
Sadikun Citra Rusmana, 2006. Makalah Kewirausahaan mandiri, dipesentasikan pada Program Studi manajemen, FE Unpas.
Tulus Tambunan. 2002. Ekonomi Usaha Kecil Menengah. Salemba4.
Wycoff, Joyce. 2002. (a.b. Rina S. Marzuki). Mind Mapping : Your Personal Guide to Exploring Your Creativity and Problem Solving. Kaifa.
Bisnis-Jabar.Com (Rubrik Tulisan ISEI)
0 komentar:
Posting Komentar