4 Februari 2011

Investor Disarankan Beli Emas

Jakarta (Bisnis Jabar): Valbury Asia menyarankan investor memiliki emas dan perak setidaknya 10% dari total portofolio investasi, di tengah potensi pelemahan nilai tukar dolar AS, kenaikan harga komoditas, dan potensi lonjakan inflasi global.
Wakil Direktur Riset PT Valbury Asia Securities Nico Omer Jonckheere mengatakan ada peluang pelemahan dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia pada tahun ini.
Dia menuturkan pelemahan dolar AS dapat mendorong naiknya harga komoditas yang beberapa waktu ini memang cenderung berada ffb pada posisi reli.
Menurut dia, naiknya harga komoditas dunia dapat mendorong inflasi global, sehingga investor sebaiknya membeli aset yang terlindung dari inflasi.
“Kalau suatu mata uang terdevaluasi, harga komoditas naik karena orang akan berpindah ke komoditas. Saya sarankan investor membeli emas dan perak karena itu adalah uang yang paling aman dari inflasi,” ujarnya, Rabu.
Selain itu, tambahnya, emas adalah satu-satunya aset yang menunjukkan adanya keuntungan dalam 10 tahun berturut-turut.
Nico mengatakan dalam jangka pendek ada ruang pelemahan emas lebih lanjut dan kemungkinan koreksi sampai dengan level US$1.261 per ounce.
Dia menuturkan sejak Agustus 2010 emas naik tanpa interupsi besar, sehingga sudah waktunya koreksi. Namun, prospek emas dalam jangka menengah dan panjang masih menunjukkan tren naik.
“Harga emas bisa naik sampai dengan US$1.600 per ounce tahun ini. Namun, sebelumnya akan koreksi dulu dengan kemungkinan koreksi sampai US$1.261 per ounce. Ini adalah peluang bagi investor untuk masuk ke pasar [emas],” katanya.
Dia juga memperkirakan kondisi pasar saham global cenderung tertekan. Indeks harga saham gabungan (IHSG) diprediksi tertahan di level 3.280-3.530. Namun, jika IHSG dapat menembus level 3.530, ada peluang untuk naik ke posisi rekor 3.590.
“Terutama perlu hati-hati pada kuartal IV. Ada potensi inflasi karena lonjakan harga komoditas yang dibarengi penurunan dolar,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Riset PT Mandiri Sekuritas Destry Damayanti mengatakan saat ini investor sedang melihat beberapa risiko di negara berkembang (emerging market), terutama risiko inflasi.
Jika inflasi naik, katanya, pemerintah dan bank sentral akan mengetatkan kebijakan. Beberapa opsi yang mungkin dilakukan antara lain menaikkan suku bunga, menaikkan giro wajib minimum [GWM] untuk menyerap likuiditas, dan mengurangi anggaran.
“Saat ini hampir semua negara berkembang masih mengambil tindakan berupa menaikkan GWM. China, India, Malaysia, Thailand, juga Indonesia. Kita lihat anggaran belum diutak-atik, yang artinya kondisi fiskal masih terkendali,” katanya.
Namun, lanjutnya, investor masih menunggu langkah yang akan diambil Bank Indonesia pada rapat dewan gubernur tanggal 4 Februari 2011.
“Inflasi merupakan risiko yang dikhawatirkan karena meningkatkan biaya investasi. Investor dalam kondisi melihat dan menunggu. Jika bunga naik, obligasi dan saham jadi tidak menarik, sebab biaya dana naik dan bisnis menjadi terhambat,” ujarnya.
Dengan demikian, investor akan melirik sektor lain yang lebih menarik. “Yaitu sektor komoditas,” kata Destry. (Roberto Purba)

0 komentar:

Posting Komentar