Radar Sukabumi -- Efek menjamurnya waralaba modern di Kabupaten Sukabumi semakin memiriskan. Data dari Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan (Diskopperindag) Kabupaten Sukabumi menyebutkan, 60 persen usaha warung sembako grosir atau eceran dinyatakan kolaps alias pailit.
"Hitungan kita memang besarnya seperti itu. Usaha warung kecil bangkrut setelah tidak bisa bersaing dengan beredarnya mini market modern yang kami anggap berdiri sembarangan di setiap tempat," aku Kepala Diskopperindag Kabupaten Sukabumi, Asep Japar kemarin.
Kepada Radar ia menyebutkan, jika persoalan ini dibiarkan, bukan mustahil ritel perbelanjaan itu akan terus "membunuh" kelangsungan usaha kecil menengah (UKM) toko grosir milik masyarakat. Sebab, kebanyakan dari mereka kata dia, tidak bisa bersaing harga yang dilepas waralaba. Di sisi lain, penataan penempatan waralaba masih jauh dari konsep tata ruang yang diberlakukan pemerintah.
"Saya sangat menyesalkan, ketika ada beberapa usaha waralaba yang menerapkan harga jauh di bawah harga pasar tradisional. Ini sangat mematikan pemilik toko biasa. Sebab, konsumen lebih memilih berbelanja dengan harga yang cenderung sangat murah dan di bawah standar," jelasnya.
Untuk itu, pihaknya saat ini terus mematangkan realisasi adanya peraturan bupati (perbup) yang khusus mengatur pembangunan dan jam operasi waralaba. Sebab selain menjamur hampir di setiap kecamatan dan desa, jam operasi waralaba modern sangat merugikan pemilik toko kecil di sekitarnya.
"Saya akan mencoba memberi penegasan dalam perbup itu. Dan mudah- mudahan semua pihak mengerti. Jangan sampai pemda menarik keuntungan dari pajak waralaba tapi di sisi lain pemda membunuh usaha rakyatnya sendiri," tutur pria berkumis itu.
Kepala Bidang (Kabid) UKM Diskopperindag Kabupaten Sukabumi, Sri Bagiarti menyatakan, secara teknis pihaknya sudah meminta Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Sukabumi untuk sama-sama memberi pengetatan izin waralaba. Itu dilakukan melalui surat 510/2704/DAG per tanggal 24 November 2010. Sayang, sampai saat ini, BPPT tidak pernah memberikan jawaban untuk mengatur teknis penataan waralaba yang ada.
"Kita dalam hal ini hanya dilibatkan dalam kajian teknis di lapangan saja. Soal kewenangan memberikan izin itu ada di BPPT. Jadi dengan begitu, setiap ada masalah menyangkut waralaba, kita lah yang selalu diserang warga duluan," bebernya.(veg)
"Hitungan kita memang besarnya seperti itu. Usaha warung kecil bangkrut setelah tidak bisa bersaing dengan beredarnya mini market modern yang kami anggap berdiri sembarangan di setiap tempat," aku Kepala Diskopperindag Kabupaten Sukabumi, Asep Japar kemarin.
Kepada Radar ia menyebutkan, jika persoalan ini dibiarkan, bukan mustahil ritel perbelanjaan itu akan terus "membunuh" kelangsungan usaha kecil menengah (UKM) toko grosir milik masyarakat. Sebab, kebanyakan dari mereka kata dia, tidak bisa bersaing harga yang dilepas waralaba. Di sisi lain, penataan penempatan waralaba masih jauh dari konsep tata ruang yang diberlakukan pemerintah.
"Saya sangat menyesalkan, ketika ada beberapa usaha waralaba yang menerapkan harga jauh di bawah harga pasar tradisional. Ini sangat mematikan pemilik toko biasa. Sebab, konsumen lebih memilih berbelanja dengan harga yang cenderung sangat murah dan di bawah standar," jelasnya.
Untuk itu, pihaknya saat ini terus mematangkan realisasi adanya peraturan bupati (perbup) yang khusus mengatur pembangunan dan jam operasi waralaba. Sebab selain menjamur hampir di setiap kecamatan dan desa, jam operasi waralaba modern sangat merugikan pemilik toko kecil di sekitarnya.
"Saya akan mencoba memberi penegasan dalam perbup itu. Dan mudah- mudahan semua pihak mengerti. Jangan sampai pemda menarik keuntungan dari pajak waralaba tapi di sisi lain pemda membunuh usaha rakyatnya sendiri," tutur pria berkumis itu.
Kepala Bidang (Kabid) UKM Diskopperindag Kabupaten Sukabumi, Sri Bagiarti menyatakan, secara teknis pihaknya sudah meminta Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Sukabumi untuk sama-sama memberi pengetatan izin waralaba. Itu dilakukan melalui surat 510/2704/DAG per tanggal 24 November 2010. Sayang, sampai saat ini, BPPT tidak pernah memberikan jawaban untuk mengatur teknis penataan waralaba yang ada.
"Kita dalam hal ini hanya dilibatkan dalam kajian teknis di lapangan saja. Soal kewenangan memberikan izin itu ada di BPPT. Jadi dengan begitu, setiap ada masalah menyangkut waralaba, kita lah yang selalu diserang warga duluan," bebernya.(veg)
0 komentar:
Posting Komentar