Mengawali karir sebagai seorang karyawan, di sebuah pabrik permen milik orang lain. Setelah empat tahun berlalu, tepatnya di tahun 1985, Abdul Bakri (75) memutuskan untuk membuka usaha di bidang yang sama yaitu pembuatan permen jahe. Hanya dengan modal satu bal gula pasir oleh majikan tempat ia bekerja, kini usahanya terus berkembang dan mendapatkan sertifikat Penyehatan Industri Rumah Tangga(PIRT) tahun 2009 dari BPOM.
Sejak 1980-1984, dimasa mudanya Abdul Bakri bekerja sebagai karyawan pabrik permen jahe, milik Willy yang asli orang Manado. Lalu, Abdul Bakri dipercaya untuk membuka usaha sendiri.
Usaha yang dikelolanya ini sama-sama memproduksi permen jahe. Meski modal awal yang ia terima dari majikannya hanya satu bal gula pasir. Tapi tak menjadikan Abdul Bakri berkecil hati, untuk membeli bahan baku lain dengan modal sendiri. Akhirnya pada 1985, pria yang sudah beruban ini membuka usaha di rumahnya sendiri.
Dengan penuh kesabaran dan keuletan dalam mengembangkan usaha, kini pria yang akrab disapa Bakri ini mempunyai pabrik sendiri yang berlokasi di Jl. Parungseah Gg. Karya Bakti III Kabupaten Sukabumi.
Agar usahanya berjalan, Bakri pun merekrut 8 karyawan. Dalam sehari, mampu menghasilkan 120-130 kg permen, dengan rasa jahe, wijen dan asam. Dulunya mengolah bahan baku permen menggunakan wajan yang berkapasitas 15 kg, dengan bahan bakar minyak tanah. Karena minyak tanah sulit didapatkan, akhirnya Bakri beralih menggunakan gas untuk mengolahnya.
Cara mengolahnyapun cukup tradisional. Dalam memasarkan produknya, banyak konsumen datang langsung berasal dari Jakarta, Cianjur dan Bogor dan mampu menjual sekitar 100 kg-600 kg. “Sebulan, alhamdulillah kami mampu mendapatkan omset Rp5 juta per 15 hari kerja,”ujar Abdul Bakri kepada Radar Sukabumi.
Hasil dari usaha yang dirintisnya, dirinya mampu membeli rumah, memiliki pabrik jahe sendiri dan bisa menyekolahkan anaknya hingga ke Perguruan Tinggi (PT). Produk yang diproduksinya disuguhkan harga Rp22 ribu/kg untuk permen jahe dan permen asam. Sedangkan permen wijen Rp24 ribu/kg.
“Akhir-akhir ini, bahan baku yang digunakan naik. Sedangkan dalam penjualannya, harga permen-permen kami tidak bisa dinaikkan. Akhirnya berdampak pada omset minim. Mudah-mudah usaha ini ke depannya bisa lebih terkenal dan bisa lebih berkembang. Pemerintah bisa memperhatikan industri kecil seperti saya dan setidaknya ada kucuran dana dari pihak Disperindag untuk mengelola usaha ini,”harapnya.(*)
Laporan: Esa Septi Juanda Ulfach – Radar Sukabumi
0 komentar:
Posting Komentar