Gambang merupakan salah satu kue ciri khas masyarakat Kampung Cimahi RT 36 RW 07 Desa Cibolangkaler Kecamatan Cisaat. Kue berwarna cokelat itu dikenal dengan rasanya yang legit dan manis. Seperti apa kondisi para pelaku usaha pembuatan kue itu ?
Di Kampung Cimahi, hampir setiap rumah membuat kerajinan kue untuk mendongkrak perekonomian warganya. Salah satu kue yang sering dibuat yakni kue gambang. Kue berbentuk pipih persegi panjang ini merupakan kue khas Kampung Cimahi.
Sayang, kini tak semua rumah warga menjalani usaha pembuatan kue ini. Meningkatnya harga gula aren di pasaran, mengakibatkan para pengrajin tidak lagi memproduksi kue tersebut. Terhitung hampir 75 persen di kampung tersebut sudah tidak lagi memproduksi kerajinan kue.
“Karena mahalnya harga pokok untuk membuat kue. Bisa di katakan hampir punah karena banyak sekali pengrajin di Kampung Cimahi sudah tidak memproduksi kue lagi,” kata Enjang salah seorang Pengrajin kue yang masih bertahan.
Bahan baku yang paling utama dalam pembuatan kue yaitu gula aren. Karena hampir setiap kue menggunakan gula, harga gula aren yang tadinya Rp6 ribu per kilogram, sekarang menjadi Rp 12 ribu per kilogram. “Akibatnya banyak sekali pengrajin kue tidak memproduksi lagi. Sebab bisa nombok,” akunya.
Dilihat dari sejarahnya, kue gambang awalnya terkenal di daerah Bogor. Tetapi orang Sukabumi bilang kue itu disebut kue bodeng. Seiring dengan waktu, penamaan bodeng kurang akrab di telinga masyarakat di sini. “Karena bentuknya seperti gambang (salah satu alat musik tradisional Sunda), maka ya dinamakan seperti itu,”terangnya.
Dalam pembuatan kue ini cukup mudah. Bahan bakunya hanya gula aren, terigu, kayu manis, soda dan wijen. “Gula aren dilempurkan ke dalam air panas, kemudian didinginkan dan diaduk dengan terigu. Kemudian setelah diaduk dimalamkan selama satu malam, setelah dimalamkan diaduk lagi. Langkah terakhir baru diopen,” papar Enjang
Enjang (48) pengrajin kue gambang, ia mengatakan dirinya mendapat ilmu untuk membuat kue gambang ini secara turun temurun dari kakanya Epen (56). Pada tahun 1998 dia mulai memproduksi kue. Dia juga mengaku, masih bertahan karena tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dikerjakan.
“Saya tidak bisa meninggalkan kerajinan ini, karena tidak punya pekerjaan lain. Tetapi dengan naiknya bahan baku, disiasati oleh saya dengan memperkecilnya kemasan,” ujarnya. (***)
bisa di tiru nih semangatnya
BalasHapus