Sukabumi - Meneruskan usaha orang tuanya yang dibangun sejak 1920-an, kini Tin Kartini dan anaknya Cecep Maulana bahu membahu menjalankan Karya Seni Tanduk. Produknya sudah menembus mancanegara, bahkan dipakai untuk frame kacamata buatan Jerman.
Anda mungkin penggemar dan pemakai kacamata merek terkenal buatan Jerman. Tapi tahukah Anda bahwa bahan baku pembuatan frame kacamata tersebut berasal dari sebuah desa di Indonesia, tepatnya di kawasan Sukaraja, Sukabumi, Jawa Barat? Ya, bahan baku gagang kacamata kelas atas tersebut memang terbuat dari tanduk kerbau yang merupakan produk kerajinan masyarakat Sukaraja.
“Tanduk kerbau memiliki keunggulan makanya digunakan sebagai gagang kacamata produksi Jerman,” kata pimpinan Karya Seni Tanduk Sukabumi Cecep Maulana.
Penggunaan bahan baku tersebut, kata Cecep, setelah dia bersama industri kecil di wilayah itu mengekspor tanduk kepala kerbau ke Jerman dan Brasil, tahun lalu. “Masih ada beberapa negara lain yang meminta dalam jumlah cukup banyak, diantaranya Australia, Jepang, dan Korea. Namun, karena keterbatasan produksi, permintaan itu belum dapat dipenuhi,” paparnya lagi.
Usaha kerajinan tanduk kerbau, kata Cecep, merupakan warisan turun temurun dari kakek neneknya. Menurut cerita Tin Kartini, orang tua Cecep, yang ditemui Gema Rakyat Indonesia di sebuah pameran UKM di Jakarta beberapa waktu lalu, salah satu anaknya (Cecep) memang sedang giat-giatnya mengembangkan usaha yang dibangun orang tua Tin Kartini alias kakek-nenek Cecep sejak puluhan tahun silam.
Saat orang tuanya, Uba dan Onih, sudah sudah tidak sanggup lagi menjalankan usaha Karya Seni Tanduk yang sudah dijalalankan sejak 1920-an, Tin Kartini lantas meneruskan usaha orangtuanya. “Kala itu pesanan sedang banyak-banyaknya sementara yang menangani usaha tidak ada lagi, Ya, daripada ditolak akhirnya pada 1970 saya memilih melanjutkan usaha ini dengan modal Rp 5 juta yang digunakan untuk membeli bahan baku dan membayar tenaga perajin. Kebetulan saat itu ada pesanan dari Jepang, Korea, Eropa dan Timur Tengah untuk pembuatan hiasan dari tanduk,” kenang perempuan yang biasa disapa Tin ini.
Tin mengaku, ketika itu produknya lebih banyak diminati pasar luar. Pesananpun tidak sedikit, bisa mencapai satu kontainer. Untuk memenuhi permintaan pasar kala itu, dia mempekerjakan tak kurang dari 40 perajin.
Permintaan desainpun beraneka ragam, mulai dari hiasan tanduk, patung burung, ikan dan sebagainya. “Selain melayani permintaan pasar kami juga kerap menciptakan desain baru. Setiap bulan pasti kami tawarkan desain baru supaya pelanggan tidak jenuh. Tapi biasanya pasar luar lebih banyak memesan hiasan tanduk atau patung,” aku perempuan kelahiran Sukabumi 21 April 1952 ini.
Sementara desain-desain lain seperti gelang, jepitan rambut, sisir, penggaruk punggung kurang diminati. Daripada barang menumpuk, Tin pun mulai memasuki pasar dalam negeri. “Saat suami saya meninggal pada 1975 sayapun total menangani sendiri usaha. Waktu itu produk banyak menumpuk, akhirnya saya menawarkan kerjasama dengan toserba Sarinah dan membuka workshop di rumah, di daerah Sukaraja, Sukabumi,”cerita dia.
Melalui Sarinah dia kerap diajak pameran ke berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri. Selain itu Tin juga pernah bekerjasama dengan Pasar Raya, sebuah Toserba di Jakarta. Tapi karena harga sewanya yang mahal dan lamanya proses pembayaran, terpaksa kerjasama itu dihentikan. “Pembayarannya lama sekali, perputaran modal saya berhenti,” keluhnya.
Saat Indonesia mengalami krisis moneter dan berbagai guncangan, usaha Tin kena imbasnya. Pesanan dari Eropa sudah tidak ada lagi. Sedangkan Jepang, Korea menurun drastis. Pesanan paling rutin dari Timur Tengah, tapi pesanannya tidak sebanyak dulu. Terpaksalah Tin merumahkan beberapa perajinnya.
“Saat ini perajin tetap saya ada lima orang. Kalau ada pesanan, barulah saya bekerjasama dengan perajin di daerah tempat tinggal saya. Sayangnya, sekarang ini sulit sekali mencari perajin yang bisa mengukir tanduk menjadi hiasan patung. Jadi, kalau ada pesanan patung dalam jumlah banyak untuk waktu cepat, terpaksa saya tolak,” aku perempuan paro baya yang masih terlihat enerjik ini.
Untuk mempertahankan usahanya, Tin kerap mengikuti berbagai pameran. Usahanya ini membuahkan hasil. Kini produknya sudah memasuki pasar Kalimantan, Sulawesi dan berbagai daerah di Indonesia. Dalam sebulan, setidaknya Tin bisa memproduksi 500 pieces dengan harga mulai dari lima ribuan sampai jutaan rupiah, tergantung hiasan yang dibuat.
Sementara itu, bahan baku untuk membuat hiasan diperolehnya dari Sumatera Utara dan Tanah Abang (Jakarta). “Untuk tanduk kerbau dan sapi saya sudah ada langganan di Medan, sedangkan tanduk kambing saya sudah ada langganan di Pasar Tanah Abang,”aku ibu empat anak ini.
Ke depan, Tin berharap bisa menembus pasar luar negeri kembali. “Tapi karena saya sudah tua, saat ini usaha dilanjutkan oleh anak saya, Cecep Maulana. Untuk memulai pemasaran ke luar negeri, Cecep mulai memasarkan produk lewat internet,” terang Tin berpromosi.
Di tangan Cecep, Karya Seni Tanduk saat ini diakuinya masih bisa bertahan. Meski ada produk sejenis yang datang dari China, tapi kerajinan produksi Karya Seni Tanduk, seperti sisir, penggaruk, miniatur hewan, pipa rokok, aksesoris wanita, masih diminati pasar lokal.
Menurut Cecep, selama ini kerajinan tangan yang diproduksinya memiliki nilai ekonomi tinggi dan beromzet lumayan, bisa mencapai Rp 15 juta sampai Rp 20 juta sebulan.
Cecep mengatakan, tingginya permintaan terhadap produk miliknya, dikarenakan keunikan bahan baku dan kualitas yang dihasilkan. “Konsumen menilai, bahan baku yang digunakan unik dan jarang. Itulah yang menyebabkan permintaan terus datang. Tentu, kita juga menjaganya dengan menjaga kualitas,” tandasnya.